Beberapa abad lalu di
Diluar keahliannya, Hoichi adalah seorang yang miskin. Namun ia memiliki seorang kawan, biksu dari kuil
Pada suatu malam di musim panas, biksu dan pembantunya pergi untuk melakukan upacara keagamaan di rumah sebuah keluarga yang kerabatnya baru saja meninggal. Maka tingallah Hoichi sendiri di kuil tersebut. Hawa malam itu terasa panas sehingga Hoichi duduk di teras depan kamarnya. Sambil menunggu sang biksu, Hoichi berlatih bermain biwa. Tengah malam berlalu tapi biksu dan pembantunya belum juga kembali. Akhirnya ia mendengar langkah-langkah kaki yang mendekati tempat ia berada. Langkah kaki itu bukan langkah kaki sang biksu ataupun pembantunya. Sebuah suara tiba-tiba memenggilnya dengan nada kasar layaknya seorang samurai memanggil bawahannya.
"Hoichi!"
Hoichi terlalu terkejut untuk menjawab, sehingga suara itu lagi-lagi memanggilnya.
"Hoichi!"
"Ya", Hoichi segera menjawab dengan ketakutan.
"Aku adalah seorang buta yang tidak dapat mengetahui siapa yang memanggil."
"Jangan takut", kata suara asing itu dengan nada yang lebih halus
"Aku datang ke kuil ini dan membawa pesan untukmu. Tuanku yang berkedudukan tinggi kini sedang berada di Akamagaseki dengan banyak abdinya. Ia telah mengunjungi tempat terjadinya pertempuran Dan no Ura. Setelah mendengar kemampuanmu melantunkan cerita tentang pertempuran itu, ia ingin melihat pertunjukanmu. Jadi kau harus membawa biwa dan datang bersamaku ke kediaman tuanku sekarang."
Pada masa itu perintah seorang samurai tidak dapat dibantah begitu saja. Hoichi segera bergegas memakai sandal dan membawa biwa-nya serta pergi bersama orang asing itu. Saat berjalan orang itu membimbingnya dengan tangkas separuh memaksanya berjalan cepat. Tangan yang memegang sekuat besi dan terdengar bunyi dentang besi yang menandakan bahwa laki-laki itu pasti bersenjata lengkap dan kemungkinan adalah seorang penjaga istana. Hoichi merasa lega dan beruntung bahwa ia dapat memainkan sebuah pertunjukan di hadapan
Samurai itu tiba-tiba berhenti melangkah dan Hoichi merasakan bahwa mereka tiba di sebuah gerbang besar. Ia menjadi heran karena tak ingat bahwa ada gerbang seperti ini di daerah tempat ia tinggal kecuali gerbang kuil Amidaji.
"Kaimon!", pintu gerbang dibuka dan mereka masuk dan berhenti lagi di sebuah pintu.
"Aku telah membawa Hoichi!"
Terdengar suara-suara langkah kaki lalu pintu bergeser. Hoichi mendengar suara-suara wanita yang dari bahasanya terdengar seperti dayang-dayang Tuan Besar yang diceritakan samurai ini. Hoichi dibantu menaiki beberapa anak tangga, lalu diminta melepaskan alas kaki. Ia dibimbing seorang wanita melewati lantai berpelitur dan banyak pilar, lalu melangkahi lantai bertikar. Tentunya banyak orang yang sedang berkumpul disini, pikir Hoichi. Hoichi diminta untuk duduk diatas sebuah bantalan yang telah disediakan untuknya di lantai. Setelah duduk dengan tenang dan menyetel instrumennya, seorang wanita berkata, "Mainkanlah cerita sejarah mengenai Heike sambil diiringi alunan biwa-mu."
Untuk menceritakan kisah Heike dibutuhkan waktu beberapa malam, sehingga Hoichi bertanya, "Cerita itu begitu panjang. Dari mana Tuan Besar anda ingin cerita ini dimulai?"
"Mainkanlah cerita pertempuran Dan no Ura, karena cerita itu begitu sedih dan menyentuh hati."
Hoichi menarik suara dan menyanyikan lagu tentang pertempuran di sebuah laut. Dengan keahliannya ia membuat biwa-nya berbunyi seperti suara dayung dan ombak, suara lesatan panah, dahkandenting pertempuran. Di tengah-tengah permainannya, Hoichi menangkap berbagai ungkapan kekaguman. Hoichi merasa tersanjung dan ia makin bersemangat sehingga ia bernyanyi lebih baik dari sebelumnya. Pada saat cerita mencapai puncak yang tragis, terdengar suara tangisan dan ratapan sehingga Hoichi menjadi takut akan akibat yang ditimbulkan oleh permainannya. Namun pada akhirnya suara tangisan dan ratapan berangsur-angsur berhenti dan suasana kembali hening.
Hoichi kembali mendengar suara wanita yang tadi berbicara dengannya.
"Kami semua telah mendengar betapa hebatnya seorang Hoichi, namun kami tidak menyangka bahwa Anda benar-benar luar biasa. Tuan Besar amat puas dan akan memberikanmu pernghargaan yang setimpal. Namun Tuan meminta agar Anda mau mengadakan pertunjukan yang sama setiap malam untuk enam hari kedepan. Samurai yang sama akan menjemputmu besok. Kemudian satu hal lagi, saat ini Tuan Besar berada di Akamagaseki tanpa diketahui siapapun sehingga Anda dilarang untuk mengatakan kunjungan ini atau hal apapun mengenai malam ini kepada siapapun."
Hoichi tiba di rumah saat hampir subuh. Kepergiannya tidak diketahui siapapun karena semua mengira ia sedang tidur. Pada malam berikutnya samurai itu datang kembali, dan Hoichi pun pergi lagi bersamanya untuk mengadakan pertunjukan. Namun kali ini kepergiannya diketahui. Saat Hoichi kembali, sang biksu bertanya, "Hoichi, kamu sangat cemas karena kamu bepergian sendiri pada malam hari. Itu sangat berbahaya. Mengapa kamu tidak mengatakan apa-apa pada kami? Tentunya aku akan dapat meminta seseorang untuk menemanimu."
Hoichi menjawab, "Temanku yang baik, maaf tetapi aku mempunyai urusan pribadi yang harus dilaksanakan pada jam itu."
Biksu itu terkejut, ia merasakan kejanggalan dan khawatir Hoichi sedang ditipu oleh roh jahat. Ia tidak bertanya apa-apa lagi. Namun pada malam hari sang biksu diam-diam memerintahkan para muridnya untuk mengawasi Hoichi dan mengikutinya bila ia kembali meninggalkan kuil di tengah malam. Maka pada saat Hoichi meninggalkan kuil pada malam itu, para muridnya bergegas menyalakan lentera dan membuntutinya. Namun malam itu turun hujan, sehingga para murid kehilangan Hoichi karena si buta itu berjalan amat cepat. Para murid mengetuk rumah penduduk desa dan bertanya apakah Hoichi berteduh disana. Semua menjawab tidak, dan para murid pun memutuskan untuk kembali ke kuil lewat jalan lain. Ketika mereka sedang berjalan, terdengar bunyi petikan biwa. Para murid terkejut dan cepat-cepat mencari sumber suara itu. Mereka menemukan Hoichi sedang memainkan biwa-nya di tengah-tengah pekuburan Amidaji. Pekuburan yang biasanya gelap itu kini diterangi banyak api seperti nyala lilin yang merupakan para roh yang sedang menyaksikan pertunjukan Hoichi. Begitu hebatnya Hoichi sehingga kemampuannya pun menarik para roh untuk menikmati pertunjukan puisi dan musiknya.
"Hoichi! Hoichi! Sadarlah!"
Namun Hoichi tidak mendengar teriakan mereka. Ia terus memetik biwa-nya dan mengumandangkan cerita pertempuran Dan no Ura. Mereka menghampiri Hoichi dan berteriak di telinganya, "Hoichi! Pulanglah bersama kami!"
Hoichi menjawab dengan marah, "Mengganggu pertunjukan dihadapan Tuan Besar tak bisa dimaafkan!"
Para murid tak bisa menahan tawa karena keanehan ini. Mereka tetap memaksa Hoichi pulang ke kuil. Setibanya disana ia segera dihadapkan pada sang biksu yang dengan segera meminta penjelasan dari Hoichi. Hoichi semula enggan untuk bercerita namun karena kebaikan hati temannya selama ini ia pun akhirnya bercerita.
"Hoichi temanku yang malang, kemampuanmu bermain musik telah menarik para roh. Selama ini kau mengadakan pertunjukan di tengah pekuburan Heike, dimana para muridku menemukanmu. Karena kau telah mematuhi mereka maka engkau berada dalam bahaya besar. Aku harus pergi bertugas, namun sebelum malam aku akan menulisi sekujur tubuhmu dengan tulisan suci
Sebelum malam, biksu dan pembantunya menulisi sekujur tubuh Hoichi dengan tulisan suci tersebut. Ketika selesai sang biksu berkata, "Nanti bila samurai itu datang, dia akan memanggilmu kembali. Jangan menjawab dan tetap duduk diam. Jika engkau bersuara maka ia akan menemukanmu. Jangan takut, dan jangan berpikir untuk berteriak minta tolong. Bila engkau melakukan apa yang kukatakan maka kau akan selamat."
Pada malam hari Hoichi kembali duduk di beranda. Ia duduk dalam posisi meditasi dan berusaha tidak menimbulkan suara apapun.
"Hoichi!" kembali suara samurai itu memanggilnya.
"Hoichi!" suara itu bertambah keras namun Hoichi tetap tak menjawab.
"Hoichi!" nampaknya samurai itu murka karena tidak ada jawaban.
"Aku harus mencari orang itu."
Terdengar suara langkah kaki yang naik ke teras dan berhenti di samping Hoichi. Selama beberapa menit Hoichi merasakan jantungnya berdebar-debar sampai keluar kata-kata, "Ini biwa-nya, tapi yang kulihat hanya sepasang telinga milik si pemain biwa itu. Sebaiknya aku bawa sepasang telinga ini ke hadaoan Tuan Besar sebagai bukti perintah telah dilaksanakan sebaik mungkin."
Seketika itu Hoichi merasakan sakit yang luar biasa karena sepasang telinganya dirobek dengan paksa. Walau sangat kesakitan, Hoichi tak berani bersuara. Ia merasakan darah mengalir dari kedua sisi kepalanya.
Saat sang biksu pulang ia terkejut mendapati Hoichi sedang duduk dalam posisi meditasi namun bercucuran darah.
"Hoichi yang malang! Mengapa kau terluka?!"
Mendengar suara temannya, jerit tangis Hoichi meledak. Sambil tersedu-sedu ia menceritakan pengalaman yang menakutkan semalam.
"Hoichi yang malang...ini semua salahku. Di sekujur tubuhmu telah tertulis tulisan suci, kecuali telingamu. Aku meminta pembantuku untuk melakukannya, namun aku tidak kembali untuk memastikan bahwa ia telah melakukan pekerjaannya dengan baik. Namun kini bahaya sudah lewat dan mereka tidak akan mengganggumu lagi. Sekarang aku akan membantumu agar lukamu segera sembuh."
Setelah Hoichi sembuh, kisah ini tersebar dan menjadikan ia semakin terkenal. Banyak Tuan Besar dan bangsawan datang ke Akamagaseki untuk melihatnya bermain dan banyak hadiah besar diberikan kepadanya. Hoichi pun menjadi seorang kaya raya. Namun ia kini dikenal sebagai
walah...
BalasHapusgile bo ceritanya...
tapi itu napa kok tubuhnya banyak tulisan"gitu cie..
ckckck
btw ada nupost...
butuh sara nhe..
buset...
BalasHapusspeechless
:scream:
BalasHapusSerem bnget critax
BalasHapus